Judul : Turutilah Kata Orang Tuamu
Di meja makan Lily masih saja cemberut padahal ada nasi goreng kesukaannya disana, ibunya, dan ayahnya. Ayah Lily yang melihatnnya langsung berbicara " Sudahlah .. kenapa dari kemarin kamu cemberut rerus Lily .. " Lilypun menjawab "karena tidak dibelikan kue stroberi di toko kue ". "sudahlah Lily kamu pasti tak suka kue itu karena rasanya asam campur manis .. " ucap ayah Lily lagi. "Tapi aku mau kue itu ! " ucap Lily lagi lalu lalu meninggalkan meja makannya dan pergi ke kamar. Padahal masih banyak nasi goreng tersisa di piringnya.
Tiba - tiba Mamanya Lily menemui Lily di kamar dan berbicara " Baiklah Lily Mama membelikan Kue Stroberi itu tapi tapi dengan satu syarat " " Apa itu " Ucap Lily "Kamu Harus menghabiskannya " " Ok " ocap Lily sambil mengedipkan sebelah mata.
Sesudah membeli kue stroberi Mamanya Lily dan Lily pulang ke rumah. sesampainya di rumah. Sesampainya di rumah Lily langsung melahap kue stroberi itu. Baru setengah kue Lily makan tapi ia sudah berhenti padahal ukurannya tidak besar. Mamanya Lily yang melihatnya langsung berkata " Ingat Syaratnya .. ". Lily diam dan berkata " Ma .. ini terlalu manis dan asam " " Nah .. kan sudah mama bilang .. ". Lily cemberut dan meminta maaf. Maka kue yang setengah dimakan Lily itu dimakan Mamanya Lily karena Mubazir bila dibuang.
Judul : Lihatlah Dirimu Sendiri
-----------
Sepilang dari Bazar Hana langsung mandi dan membeli bahan - bahan untuk membuat donat untuk membuat donat yang setelah itu dijual.
Di tengah pasar Hana mencari penjual bahan - bahan kue tetapi ada kejutan di pasar yaitu .. Hana bertemu dengan Sisi ! Disana Sisi menjual plastik - plastik . Hana-pun menghampiri Sisi dan berkata " hai Sisi Boleh beli plastik bening 1 tidak ? Sebab aku lupa membawa plastik bening " . Sisi melihat wajah pembelinya. Sisi terkejut dan dia segera meminta maaf karena sudah mengejek Hana dan segera mengambilkan plastik yang Hana inginkan dan tentu saja setelah itu Hana membayar plastiknya. Dan Sisi-pun tidak mengejek Hana lagi.
Judul : Mili dan Kolam permintaan
Judul : Buah Kejujuran
Oleh : Ratna Kushardjanti
Yasir
masih saja memegangi lembaran-lembaran ratusan ribu rupiah dengan tangan
bergetar. Matanya membulat. Seingatnya belum pernah sebelumya ia melihat uang
sebanyak ini.
Sejurus
kemudian terdengar suara langkah kaki. Yasir cepat-cepat memasukkan
lembar-lembar uang itu ke dalam dompet seperti semula. Dengan sigap
disembunyikan dompet itu ke dalam tas kumalnya.
“Yas,
ayo main layang-layang ke tanah lapang!” Aji sepupu Yasir sudah ada di
depannya, meraih layang-layang di kolong tempat tidur. Tepatnya balai-balai
bambu tanpa kasur tempat mereka biasa tidur.
“Ayuk!
“ tawar Aji lagi melihat Yasir tak
bergeming. Langkahnya terhenti sejenak. Tapi kemudian ia berlari keluar sambil
menggerutu melihat saudaranya tak bereaksi.
Apa
sebaiknya kuceritakan saja perihal dompet ini pada Aji ya, bisik Yasir bimbang.
Uang sebanyak ini tentu saja bisa untuk membeli sepeda baru impiannya dan
melunasi tunggakan SPP tentu saja. Sudah dua kali ia membawa surat peringatan
dari sekolah.
Dari kecil Yasir tinggal bersama keluarga pakliknya.
Lik Wardi adalah satu-satunya saudara yang tersisa yang kini merawat dirinya. Bapak
dan ibu Yasir meninggal saat gempa bumi melanda Yogya. Mbak Romlah kakak
satu-satunya pun ikut meninggal.Rumahnya rata dengan tanah. Suatu keajaiban
Yadi yang saat itu berumur lima tahun sedang tidur pulas di atas tempat
tidur ditemukan selamat.
Ah,
mengingat bapak ibu membuat ada rasa sedih merayap di dada Yasir. Bapak yang
bijaksana. Ibu yang di tengah kesibukannya selalu menyempatkan waktu untuk bercerita
setiap kali mengantar Yasir tidur. Yasir mengusap air yang tiba-tiba mengambang di sudut mata.
Yasir
masih ingat sebelum meninggal malamnya ibu bercerita tentang kejujuran seorang
anak penjual susu. Betapa anak tersebut mengingatkan ibunya, meyakini Allah swt
mengetahui apapun yang dilakukan manusia sekalipun khalifah tidak tahu. Ibu
juga sering sekali berpesan pada Yadi bahwa jangan sekali-kali ia mengambil
sesuatu yang bukan haknya.
Deg!
Dada Yasir berdesir. Ia tersentak.
Teringat kembali akan dompet itu. Tadi ia bahkan sempat berpikir akan
menyerahkan saja dompet itu pada Lik Wardi. Lumayan bisa untuk menyambung biaya
kehidupan mereka beberapa waktu.
Sebetulnya
Yasir sering merasa tidak tega melihat kehidupan Lik Wardi yang susah. Usaha
tambal ban kecil-kecilan menurutnya jauh dari cukup untuk menghidupi isteri dan
tiga orang anaknya. Belum lagi keberadaan Yasir di rumah ini tentu menambah
beban pakliknya. Terkadang Yasir dan Aji sepulang sekolah menjajakan jasa
menyemir sepatu. Tapi hasilnya tidak seberapa. Sekedar mengurangi jatah makan
siang dan makan malam mereka berdua.
Keadaan itulah yang mungkin membuat Lik
Yah isteri Lik Wardi gemar sekali mengomel sepanjang hari. Ingin rasanya Yasir
menyerahkan uang yang ada di dalam dompet ini untuk sekedar membuat Lik Yah
tersenyum. Tapi bukankah dompet ini bukan haknya?
Yasir
beristighfar. Diraihnya kembali dompet
itu dari dalam tas. Dompet yang ia temukan di tepi jalan sepulang sekolah tadi.
Mencari-cari sesuatu yang ada di dalamnya.
Nah,
ini dia ketemu. Sebuah KTP tampak terselip rapi. Ada nama dan alamat. Matanya
membulat, Ternyata alamatnya tidak jauh
dari kampung ini. Disambarnya sandal jepit bututnya. Yasir bergegas.
*******
“Bodoh kamu Yas, kenapa
tidak kau terima saja imbalan seratus ribu darinya. Kan lumayan bisa nraktir
kita. Sekali-kali dong kamu nraktir kita. Betul gak Dim?”celetuk Doni kepada
Dimas ketika akhirnya Yasir tak kuat menyimpan rahasia penemuan dompet itu.
Kejadian yang sudah sepekan ini ia simpan rapat-rapat. Dimas manggut-manggut
membenarkan.
“Alaah, sok alim kamu Yas. Kenapa
kamu ga cerita ke bapak? Coba uang itu kita ambil. Kita bisa beli sepeda
polygon. Kan keren” Aji sepupunya yang sekaligus teman sekelas menimpali. Yasir
ingat beberapa waktu yang lalu ia dan Aji sempat membelai-belai sepeda polygon
yang nongkrong di bengkel Mas Yanto.
Selain usaha bengkel sepeda Mas Yanto juga menjual sepeda second berbagai
merek.
Yasir terdiam. Sebelum ia sempat
menjawab Bima datang,memberitahukan bahwa Yasir dipanggil oleh Pak Prapto, kepala
sekolah. Dengan berdebar-debar Yasir bergegas ke ruang kepala sekolah.
Sengatnya ia tidak berbuat kesalahan. Atau jangan-jangan masalah tunggakan SPP
yang belum juga terlunasi.
Di ruang kepala sekolah ada seorang
laki-laki sedang berbincang renyah dengan Pak Prapto. Rasa-rasanya Yasir sudah
pernah bertemu. Ya, betul. Pak Jatmiko, pemilik dompet yang ia temukan waktu
itu. Mengapa ia kemari?
“Sini duduk sini Yasir. Ini Pak
Jatmiko teman bapak kuliah dulu. Orang yang dompetnya kautemukan terjatuh di
jalan tempo hari. Beliau sangat kagum akan kejujuranmu. Uang dan kertas
berharga yang ada di dompet itu berjumlah sangat banyak dan tak ada selembarpun
yang hilang.” Kata Pak Prapto. Yasir duduk tak jauh dari Pak Prapto. Ia
menunduk kikuk. Ketika Yasir mengembalikan dompet ia ingat bahwa ia memang
menyebutkan nama sekolah ini. Ketika itu Pak Jatmiko menanyakan sekolah Yasir.
Tapi mau apa Pak Jatmiko kemari?
“Dua hari yang lalu Pak Jatmiko
kemari untuk mencari tahu tentang kamu. Ia terharu karena kamu ternyata sudah
tidak punya orang tua dan hanya menumpang di rumah saudara yang kurang mampu
pula. Ketika Pak Jatmiko tahu SPPmu belum terbayar beliau telah melunasi
semuanya.” Lanjut Pak Prapto.
Yasir terhenyak. Ia tak mampu
berkata-kata. Senyum penuh terima kasih ia lemparkan pada Pak Jatmiko.
“Tidak hanya itu. Kalau kau mau
tinggallah bersama kami. Dua anakku kuliah di luar negeri. Isteriku sudah lama
meninggal sedangkan aku tak ingin menikah lagi. Di rumah sepi sekali. Aku ingin
kau jadi anak angkatku. Aku yang akan membiayai sekolahmu setinggi yang kau
mau. Bagaimana?” Pak Jatmiko menyambung kata-kata Pak Prapto.
Yasir merasa badannya bergetar
karena terkejut dan bahagia. Beberapa hari yang lalu ia sempat mengutarakan
keinginan berhenti sekolah kepada pakliknya karena Yasir meresa kasihan kepada
pakliknya yang harus ikut membiayai sekolahnya.
Mimpinya
menjadi ahli otomotif kembali berkibar di benaknya setelah beberapa waktu yang
lalu dicampakkan jauh-jauh. Seketika Yasir turun ke lantai, sujud syukur. Tak dihiraukan ada air menganak sungai di
pipinya. Tak dihiraukan senyum haru kedua bapak di depannya. Ia ingat Bapak,
ingat ibu, ingat Mbak Romlah. Terima kasih Allah.
*****
(Cerita ini memenangkan
lomba menulis cerita pendek untuk anak dhuafa yang diselenggarakan oleh Majalah
Hadila, Solo Peduli dan diterbitkan dalam kumpulan cerpen Rembulan di hati
Rahmi1pada Bulan Agustus 2012)
Judul : Tendangan Maut
Oleh : Ummi Ratna
Semua
ini berawal dari kemenangan team futsal
SD Intis melawan SD Alkhairaat. Sungguh, seumur-umur baru kali ini team futsal SD Intis mengantongi kemenangan. Bukan, bukan karena anak-anak SD Intis tidak tangguh. Tapi
sekolah ini merupakan sekolah baru. Level tertinggi adalah L-4 ( L four adalah
sebutan bagi anak kelas empat) yang hanya terdiri dari
enam anak. Itupun satu diantaranya perempuan. Wanda. Satu-satunya siswa
perempuan di L4 yang tidak tertarik
futsal sama sekali sekalipun hanya sebagai supporter.
Jadi
jika ada sekolah lain yang menantang pertandingan futsal semua siswa laki-laki
di L-4 harus ikut berpartisipasi berjuang demi sekolah. Itupun personelnya
masih kurang dan harus ditambah anak L-3 yang postur tubuh serta kelincahannya
memungkinkan untuk menjadi personel pemain futsal. Biasanya Garda dari L-3 yang
ikut bergabung. Novan dan Kayis berperan sebagai pemain cadangan. Hal yang
sebetulnya kurang sepadan karena sekolah lain seringkali mengirimkan regu yang
sudah teruji melalui seleksi ketat di sekolahnya serta rata-rata mereka sudah
duduk di bangku kelas lima.
Kemenangan
regu futsal kali ini menjadi semacam euforia
di Intis adalah merupakan hal yang wajar. Berkali-kali bertanding dengan SD
Alkharaat mereka merasa selalu dipermalukan dengan kepahitan, yaitu kekalahan
telak. Kali ini gol dari Ayasy, Garda dan Dani seolah membayar kekalahan yang selama ini
mereka rasakan. Enam-dua cukup membuat team SD Alkhairaat gigit jari meskipun
mereka mambawa puluhan supporter dari sekolahnya. Supporter yang biasanya gegap
gempita menyambut kemenangan regunya dan seringkali menciutkan hati anak-anak
Intis.
Seperti
janji Mr Bambs direktur sekolah merek jika SD Intis menang masing-masing yang
berhasil mencetak gol akan mendapatkan sepuluh ribu rupiah sedangkan pemain
lainnya mendapatkan masing-masing lima ribu rupiah. Tidak banyak memang. Hanya
sekedar motivator tapi cukup membuat senyum mereka mengembang mendapatkan
tambahan uang saku.
Bagi Ayasy
masalahnya tidak sekedar uang sepuluh ribu.
Tampaknya lebih dari itu. Harga diri. Kemenangan regu SD Intis sekaligus
dia sebagai pencetak gol fantastis adalah suatu kebanggaan sendiri. Kemenangan
regu Intis yang menjadi buah bibir seluruh siswa berikut para educator.
Tendangan hebat Ayasy yang dibubungkan
dari garis belakang yang dengan jitu langsung masuk ke gawang lawan menjadi
pembicaraan. Mr Anto sebagai pelatihnyapun tak henti memuji. Ayasy merasa
berada di atas angin. Ia seolah-olah menjadi pahlawan yang sangat berjasa
karena berhasil mengalahkan SD Alkhairaat. Timbullah sombongnya. Di hadapan
Wanda dan teman-teman di kelas lain tak henti dia bercerita tentang
kehebatannya di lapangan futsal. Dia lupa bahwa kemenangan yang dirinya adalah
kerja regu. Bukan karena kehebatan dirinya semata.
Mulai hari itu Ayasy jadi merasa bahwa tendanganya sangat
hebat terbukti dengan gol yang dicetaknya tempo hari. Ia mulai banyak
bertingkah. Tidak hanya bola ia tendang. Kaleng bekas cat di halaman belakang
sekolah, tempat sampah, bahkan tempat
pensil temannya yang kebetulan tergeletak di lantai kelas tak luput dari
sasarannya. Terkadang di dalam kelas ia menendang-nendang angin bertingkah
seolah sedang di lapangan. Hal itu membuat Ms Ayun wali kelasnya jengkel bukan
kepalang. Beberapa temannya juga menggerutu akibat ulahnya.
“Ayasy, ini di kelas bukan di lapangan. Jangan main
tendang saja kamu ya” celetuk Ms Ayun ketika melihat Ayasy menendang buku
Bahasa Indonesianya sendiri yang kebetulan terjatuh dari meja. Buku tersebut
melayang-layang ke udara sebelum akhirnya jatuh tepat di atas mejanya. Ayasy
tersenyum bangga memamerkan kebolehannya kepada Wanda yang ada di depannya.
Wanda hanya mencibir. Ms Ayun geleng-geleng kepala. Hingga suatu pagi Ayasy
kena batunya....
Pagi itu seperti biasanya pelajaran Qiroati. Tiap pagi di
awal hari anak-anak Intis belajar baca tulis Alqur’an sebelum opening. Semua
anak sibuk. Ada yang sedang membaca disimak oleh educator ada yang sedang
menulis, menyalin buku qiroati di hadapannya. Sebagian yang lain menyetorkan
hafalan Al Qur’annya.
Ayasy juga sibuk. Tapi tidak membaca, menulis
Qiroati atau setor hafalan. Rupanya ia sedang berkhayal menjadi pemain sepak
bola ulung seperti Ronaldo. Kaki kanannya siap beraksi kembali dengan loncatan
yang dahsyat ke udara seolah-olah sedang menendang bola di lapangan. Tapi entah
bagaimana mulanya mungkin malaikat diutus Allah untuk memberikan pelajaran pada
seorang hambanya. Tendangannya melesat
dengan cepat tepat menimpa besi penyangga meja yang kebetulan papannya lepas sehingga permukaannya tajam.
“Creesss....!” darah segar mengalir dari punggung telapak kaki kanan Ayasy. Ayasy
meringis menahan sakit. Dengan terpincang-pincang ia menghampiri Ms Ayun yang
sedang mengecek hafalan Wanda.
“Mis, tolong. Kakiku...” ucapnya terbata-bata. Demi
melihat darah Ayasy Mis Ayun terlonjak. Sertamerta dibawanya Ayasy ke ruang
UKS. Luka Ayasy dirawat, diberi betadin dan dibalut kasa. Ayasy merasa perih
luar biasa. Jika di rumah mungkin saja dia sudah menangis. Tapi ini di sekolah.
Dia adalah pemimpin regu futsal SD Intis. Apalagi teman-teman merubungnya,
ingin tahu apa yang sedang terjadi. Wandapun ada diantara mereka. Menangis
dihadapan mereka berarti meruntuhkan kewibawaannya, tentu saja.
Ayasy masih saja meringis kesakitan. Tapi hari ini Ayasy
telah banyak belajar. Pertama sebagai manusia tidak selayaknya ia menyombongkan
diri ketika berhasil meraih kemenangan. Yang kedua, peringatan dari educator
hendaknya selalu diperhatikan. Ayasy
menyesali ulahnya. Dalam hati ia berjanji untuk memperbaiki sikapnya pada
masa-masa mendatang.
Malik
Tidak Takut Lagi
Sekolah
sudah berjalan satu bulan. Tapi seperti hari-hari yang lalu Malik masih selalu
saja memegang erat tangan Mama. Entahlah
ia merasa sangat ngeri jika mama pergi. Malik tidak mau mama pergi. Tapi Malik
juga tetap ingin sekolah. Betapa tidak. Ketika pertama kali ia datang ke
sekolah ini diantar papa dan mamanya hatinya begitu terlonjak. Tak sabar
rasanya unuk segera masuk menjadi siswa kelas 1 di sekolah ini.
Dan
kini harapanya terkabul. Malik yang sudah terdaftar sebagai murid kelas satu di
SD Intis memulai hari-hari pertamanya di sekolah. Teman Malik banyak. Ada Nia
yang cantik, Alea yang ceria, Zaidan yang lucu, Iffah yang imut, Hafidz yang
baik dan teman yang lainnya. Mrs Usna dan Mrs Ika educator kelas 1 pun adalah
sosok yang ramah dan menyenangkan. Tapi Malik masih saja merasa takut.
Judul : Kegigihan Siwi
Oleh : Ratna Kushardjanti AP
(Cerita
ini masuk dalam nominasi lomba menulis cerita pendek untuk anak yang
diselenggarakan Majalah Hadila. dimuat dalam kumpulan cerpen Purnama di
hati Rahmi Agustus 2012)
Siwi baru saja selesai
membereskan bukunya di teras belakang ketika Prita menghampiri.
“Sudah
mengerjakan PR Matematika Siwi?” tanya Prita. Sepertinya Siwi tahu kemana arah
pertanyaan Prita. Prita yang malas mengerjakan PR selalu menodong Siwi agar
menyerahkan pekerjaannya untuk dicontek.
“Coba
kaukerjakan sendiri dulu, Prita. Nanti kalau ada yang tidak bisa biar kubantu
menjelaskan” ujar Siwi lembut. Ia tak ingin membuat tersinggung gadis di
hadapannya. Tapi Siwi juga ingin menyadarkan Prita bahwa apa yang sering
dilakukannya adalah keliru dan jusru merugikan diri sendiri.
“Huh,
pelit! Anak pembantu saja banyak tingkah. “ gerutu Prita kesal. Sejak Mak Sari
diminta oleh mama Prita tinggal di rumahnya dan membawa anaknya yang tak lain
adalah Siwi teman sekelasnya, Prita memang selalu memanfaatkan kepandaian gadis
itu. Tak jarang ia meminta Siwi mengerjakan berbagai tugas dari sekolah yang
seharusnya ia selesaikan sendiri.
Siwi memang termasuk murid yang rajin dan
pandai di kelasnya. Setiap kenaikan kelas ia tak pernah keluar dari rangking
tiga besar. Itulah yang sebetulnya diam-diam membuat Prita merasa iri.
Sebetulnya
Siwi sendiri sering merasa risih dengan sikap Prita. Tapi selama ini ia
seringkali tidak kuasa menolak keinginan Prita mengingat kebaikan keluarga
Prita terhadap Mak Sari, emaknya Siwi. Mereka banyak berhutang budi terhadap
Pak Yudi dan Bu Yudi, orang tua Prita.
Sepeninggal
bapak enam bulan yang lalu, Bu Yudi meminta agar Mak Sari dan Siwi mau tinggal
di rumahnya. Biaya kontrakan rumah yang terus naik ditambah kondisi keuangan
yang tidak memungkinkan membuat Mak Sari tak kuasa menolak kebaikan Bu Yudi.
Mak Sari sendiri sudah bertahun-tahun bekerja di rumah Bu Yudi. Tapi sebelumnya
ia pulang ke rumah di sore hari untuk
mengurus keluarganya.
“Cobalah
dulu, Prit. Ini demi kebaikanmu agar kau juga paham” ujar Siwi lagi.
Digenggamnya dengan erat buku matematika di tangannya. Tak sekali dua Prita
main rebut ketika Siwi tidak mengijinkan Prita mencontek pekerjaannya.
“Sudah,
jangan sok!” dengan ketus Prita menimpali. Tangannya berusaha menggapai buku
Siwi.
“Prita,
jaga sikapmu nak. Benar apa kata Siwi. Kamu sebaiknya mengerjakan sendiri PR mu.
Bukankah Siwi selalu menawarkan bantuan ketika kamu bertanya. Seharusnya kamu malu, Prita” tiba-tiba muncul
Bu Yudi muncul dari ruang makan.
“Mama
kok membela dia sih?” Prita melotot ke arah Siwi sebelum dengan kasar ia
berlari ke arah kamarnya dan menutup pintu dengan hentakan yang keras. Tak
dihiraukan mamanya memanggilnya. Omelan panjang terdengar dari arah kamar Prita
membuat Siwi harus menarik nafas
panjang.
Siwi
beringsut masuk ke dalam kamar tempat Siwi dan emaknya tidur. Emaknya tidak ada
di kamar. Sepertinya ia masih mencuci piring bekas makan malam. Siwi ingin
membantu emaknya. Niat itu diurungkan. Suasana hatinya sedang gundah. Jika
terjadi pertengkaran antara Siwi dan Prita emak selalu menyalahkan Siwi,
meminta Siwi mengalah dan meminta maaf. Tapi bukankan siwi tidak bersalah? Siwi
mengusap air yang menggenang di sudut matanya dengan jemari.
Siwi
anak pembantu! Coba kalau gak dipungut mamaku sudah jadi gelandangan tuh anak!
Ga tahu balas budi! Anak gembel belagu! Kata-kata pedas Prita masih terngiang-ngiang
di telinga Siwi. Tidak di rumah tidak di sekolah. Kenapa Prita sering sekali
memaki-makinya. Siwi menghela nafas sedih.
Tiba-tiba
ia teringat bapak. Bapak yang selalu membelanya ketika Siwi kecil diejek oleh
teman-temannya. Bapak yang selalu menghiburnya dengan kata-kata yang sejuk
ketika ia sedang sedih. Bapak yang meninggal karena tidak menghiraukan
sakitnya, tetap mengayuh becaknya demi melunasi tagihan SPP Siwi dan demi
tanggung jawabnya terhadap keluarga. Bapak yang akhirnya meninggal karenanya.
Kau
anak hebat Siwi! Anak sabar disayang Allah! Kita memang miskin harta tapi harus
kaya iman dan ilmu. Gantungkan impianmu setinggi bintang di langit. Yakinlah
kau pasti mampu meraihnya meski semua orang mencibirmu.
Malam
ini Siwi merasa seolah-olah bapak hadir di hadapannya. Dekat sekali,
menyejukkan hatinya dengan kata-kata yang sering didengar. Dulu kata-kata itu
sering diucapkan bapak. Tiba-tiba Siwi merasa rindu kepada bapak. Sejurus
kemudian Siwi mendoakan bapak sebelum akhirnya ia terlelap.
*****
Siwi terperangah. Air matanya
mengambang di pelupuk mata. Tangannya sibuk menggerakkan mouse . Sesekali ia
menyeka keringat di dahinya. Filenya hilang. Tulisannya hilang. Tulisan yang ia
kerjakan berhari-hari untuk mengikuti lomba menulis karya tulis tingkat
propinsi lenyap. Padahal batas akhir pengumpulan naskah lomba tinggal besok
pagi. Siwi tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya.
Note book mungil yang dipinjamkan
Pak Yudi untuk mengerjakan tulisannya
masih berkedip-kedip di hadapannya. Jangan-jangan ini ulah Prita? Bukankah tadi malam Prita sempat meminjam
sebentar untuk mengerjakan tugas
biologi? Menurut pengakuan Prita notebooknya sedang eror. Ah, jangan su’udzon.
Cepat-cepat dibuang jauh-jauh pikiran negatifnya. Tapi sekarang harus
bagaimana? Apakah ia akan urung mengikuti lomba? Tapi bukankah di lomba kali
ini ia diutus sebagai duta dari kotanya untuk maju ke tingkat provinsi.Apa
komentar Pak Burhan guru pembimbingnya di seolah jika Siwi batal mengikuti
lomba?
Ya,
beberapa bulan lalu Siwi sebagai perwakilan dari sekolah telah mampu
memenangkan lomba karya tulis tingkat kota. Siwi telah berhasil mengalahkan
pesaing-pesaingnya dari SMP lain. Betapa tiap hari ia harus pulang sore untuk mengerjakan karyanya di sekolah dengan
menggunakan komputer sekolah. Kali ini Pak Yudi yang merasa kasihan kapada Siwi
berkenan meminjamkan sebuah notebook yang bisa digunakan lebih fleksibel. Ia
boleh membawanya ke kamar untuk menyelesaikan naskah lomba. Tapi naskah yang sudah
siap itu kini lenyap.
Siwi menggaruk-garuk kepalanya yang
tidak gatal. Bagaimana ini bisa terjadi? Mungkin ia telah salah memencet tombol
sehingga terdelete. Ah, rasa-rasanya tidak. Hampir putus asa hatinya.
Diseretnya langkah kakinya ke kamar mandi untuk berwudhu. Ahad pagi yang cerah
ini ia lupa belum menunaikan sholat dhuha. Ia ingin membawa kegundahannya.
Mengadu pada yang Maha Kuasa.
******
SMPNegeri 1 heboh. Semua orang membicarakan
gadis manis anak kelas 2B yang
memenangkan juara menulis karya tulis tingkat provinsi. Gadis yatim yang selalu
berjilbab rapi dan bersikap santun mendapat penghargaan dari bapak gubernur.
Hadiah uang yang diterimanya telah memberangkatkan umroh Mak Sari, emaknya
tercinta. Mak Sari tak kuasa menahan kebahagian dan keharuannya.
Pritapun telah mengakui kesalahannya.
Diam-diam ia mengagumi kegigihan Siwi, teman yang sering ia ejek dengan sebutan
anak pembantu. Ternyata Prita harus mengakui kehebatan Siwi dibanding dirinya.
Prita merasa malu dan menyesal. Ia meminta maaf pada Siwi. Ternyata betul, ia
yang telah menghapus file Siwi tempo hari.
******
Selepas sholat dhuha pagi itu Siwi kembali
masuk kamar. Dengan sekuat tenaga dikumpulkannya segala pikirannya untuk menulis ulang apa
yang sudah ia tulis hari sebelumnya. Ia dengan sangat meminta ijin emak untuk
tidak membantu emak hari itu. Konsentrasi menyelesaikan naskah lombanya.
Berhenti hanya ketika ia merasa perlu. Sholat dan mandi misalnya. Tak lupa
setiap usai sholat ia memohon petunjuk dan kekuatan pada yang kuasa.
Akhirnya Senin pagi naskah itu selesai.
Diedit seperlunya dan kemudian diserahkan panitia lomba. Siwi, anak Mak Sari
telah menyempurnakan semua ikhtiarnya.
Setelah kejadian itu kini Siwi semakin
murah senyum. Disampingnya selalu ada sahabat yang setia menemaninya. Prita.
Mereka sering terlihat belajar dan bermain bersama-sama.
************
0 komentar:
Post a Comment